Kamis, 13 Desember 2012

Siska Sumartono: ”Barang Kita harus Limited Edition”

Selama ini sulam sering berkonotasi jadul. Maka, ibu 3 anak ini ingin sulam digemari anak-anak muda. Melalui label Sari Ronche miliknya, ia mulai mengaplikasikan sulamannya itu pada celana jeans, rok jeans, overcoat dan blus kerja wanita.Tak ayal, segala jenis produk buatannya bisa bernilai jual tinggi.
Siska menunjukan salah satu aplikasi sulam pada baju

Semula, istri Stefanus Sumartono ini tak pernah membayangkan kalau keahliannya menyulam sejak kecil itu bisa dijadikan lahan untuk mengais rezeki. Ini terbukti lulusan STM Pembangunan Teknik Kimia alumni tahun 1990 ini tercatat malah pernah bekerja di sebuah perusahaan kosmetik selama 17 tahun. Tak tanggung-tanggung, kala itu posisinya sudah bukan karyawan biasa. Namun, dalam perjalanannya itu akhirnya ia menyadari bahwa menjadi karyawan bukanlah minatnya.

”Aku sudah 17 tahun kerja di perusahaan kosmetik. Itu posisinya sudah bagus dan punya anak buah 200 orang. Tapi, akhirnya aku ngerasa di situ bukanlah passion-ku. Aku resign tahun 2007. Dari situ aku ngerasa ingin mulai berbisnis kecil-kecilan. Kebetulan suka sulam sejak kecil. Jadi ya mulai buat produk terus ikut pameran, masuk ke instansi pemerintah dan akhirnya bisa ketemu banyak komunitas yang akhirnya menginspirasi supaya lebih baik lagi,” katanya.
Sulam pada baju bolero

Di saat awal menerjuni bisnis sulam, semula ibu dari Frans Galih Sumartono (15), Imanuel Gading Sumartono (10), Nikolas Ganesya Sumartono (4) ini menjalin kerja sama dengan salah seorang temannya yang memiliki usaha busana muslim ternama di Surabaya. Ia menyulam baju-baju muslim hasil rancangan sang teman tersebut. Namun, akhirnya pada 2009 ia memutuskan untuk mendirikan CV sendiri dan mengeluarkan produk yang diberi nama Sari Ronche.

”Aku awalnya kerja sama dengan temenku yang punya merek baju muslim terkenal di Surabaya. Aku banyak belajar dari dia. Tapi, akhirnya aku putuskan kerja sendiri dengan mendirikan Sari Ronche di tahun 2009. Dengan pesangonku dari perusahaan kosmetik dulu,” imbuhnya.

Banyak terinsiprasi dari baju muslim yang rata-rata disulam maka perempuan kelahiran Surabaya 21 Maret 1970 ini mulai menggunakan sulam pada baju kerja miliknya dan baju-baju yang biasanya dipakai anak muda zaman sekarang.

”Baju-baju kerjaku aku sulam. Itu banyak terinspirasi oleh baju-baju muslim yang disulam pada waktu itu. Karena bukan jiwaku, nuwun sewu saya kurang suka dengan baju-baju yang tertutup, saya suka baju yang modis. Karena sulam imagenya selama ini identik dengan sesuatu yang kuna, jadul, muslim, atau mungkin taplak meja aja, jadi saya ingin mencoba sesuatu yang bisa diterima anak muda. Intinya aku ingin sulam itu bisa dipakai anak muda, ini hanya masalah peletakan sulam, pilihan warna dan desainnya aja kok. Kamu bisa tampil manis dengan sulam. Jadi rok jeans saya sulam. Harga beli jeansnya semula Rp 125.000 atau Rp 150.000, setelah disulam harga jualnya jadi 3 x lipat,” pemilik usaha yang beralamat di Karang Menjangan 8/4 Surabaya ini mengisahkan.

Industri Kreatif

Dengan menyulam desain rumput, perdu, kupu-kupu, capung, rumah laba-laba ataupun pemandangan dan burung, produk-produk keluaran Sari Ronche bahkan bisa menembus harga hingga Rp 2,8 juta untuk sebuah baju saja. Ada kalanya juga penulis buku Baju Kerja Berbahan Tenun Jatim ini menambahkan aksen goni yang ia sulam untuk mempercantik baju-baju rancangannya tersebut. Produk-produk buatan Siska ini bahkan sudah digemari oleh masyarakat yang ada di Balikpapan, Samarinda, Palangkaraya, Jakarta, Ternate dan Palembang.

Perihal harga jual yang mahal, Siska mengatakan tidak ada batasan atau patokan khusus jika itu berkaitan dengan produk seni. Asalkan baju itu berkualitas dan desainnya tidak ’pasaran’ maka harga jual dari suatu produk bisa saja bervariasi.

”Harga jual itu dipengaruhi kualitas bahan, desain, dan kerapian. Untuk sesuatu yang berbau seni, karena sulam juga pekerjaan seni, kita tidak bisa mengukur atau di break down misalnya biaya produksi 25 ribu terus harga jualnya tinggal ditambah 30% dari harga produksi tadi sudah cukup. Tidak bisa begitu. Tapi, dengan catatan barangnya bagus ya. Tidak pasaran. Tidak sama dengan barang-barang konveksi. Istilahnya barang kita harus limited edition. Trik berbisnis saya, saya banyak bermain di pasar atas. Kalau saya mau merebut pangsa kelas bawah jelas saya kalah sama yang punya ratusan karyawan, saya terbentur tenaga kerja juga. Saya juga nggak mau barang saya pasaran. Saya ingin menggaji karyawan saya dengan layak juga. Jadi harga jual tidak ada patokannya,” tuturnya.
Sulam pada bungkus kotak tisu

Siska memang tidak sekadar berproduksi, tidak asal menghasilkan barang sebanyak-banyaknya untuk memburu keuntungan yang lebih besar, melainkan dengan mengoptimalkan daya kreasinya. Begitulah cara kerja industri kreatif yang sering didengung-dengungkan belakangan ini. (niken anggraini)

0 komentar: